12 July 2013

Sekilas Tentang Alarm Monitoring (5)


Software Monitoring
Telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa salah satu faktor dalam menentukan efisiensi satu perusahaan central monitoring adalah software monitoring. Mengapa dikatakan salah satu, karena selain itu, ada banyak kriteria lain yang harus dipenuhi oleh satu central monitoring. Misalnya, kehandalan media transmisi, ketangguhan dalam mengelola power listrik jangan sampai down, sampai pada kecepatan respon operator pada saat ada kejadian. Nah, khusus yang terakhir ini -yakni kecepatan respon operator- maka hal tersebut berkaitan erat dengan faktor:

1. Kehandalan media transmisi.
2. Ketangguhan mesin alarm receiver.
3. Kecepatan proses software.
4. Keakuratan interpretasi data.
5. Kecekatan operator.

Oleh karena central monitoring ini berupa suatu sistem, maka kelima komponen tersebut mesti dipenuhi sekaligus, sebab saling berkaitan antara satu dengan lainnya.

Software alarm monitoring standar industri harganya bisa mencapai angka belasan atau puluhan juta rupiah, bahkan bisa jadi melebihi harga alarm receiver-nya sendiri. Dalam industri alarm (dan juga lainnya), harga software yang "selangit" ini bukanlah sesuatu yang aneh, mengingat fitur yang ditawarkannya sudah sangat baik dan powerful. Software yang baik setidaknya bisa dilihat dari:
1. Instalasinya relatif mudah.
2. Compatible dengan berbagai merk alarm receiver standar industri.
3. Layar navigasi yang sederhana, sehingga tidak melelahkan operator.
4. Mudah dalam meng-input atau menghapus data pelanggan.
5. Mudah dalam menyimpan, mencari dan mengekspor data kejadian.
6. Tidak crash saat menerima data yang banyak (massive).
7. Fitur billing yang sudah terintegrasi (all-in-one).

Trend Alarm Monitoring Masa Kini
Saat ini kabel telepon analog (PSTN) masih banyak dipakai sebagai media utama -khususnya di tanah air-. Hal itu dimaklumi, karena media inilah yang dinilai paling realistis dan murah. Tetapi, secara jujur kita akui bahwa kabel telepon ini memiliki "tumit achilles", sehingga dari sisi security, media ini dinilai rapuh. Selain itu, transmisinya dinilai kurang cepat dan tidak bisa menangani sinyal reporting secara simultan. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka beberapa customer memasang unit GSM sebagai backup. Walaupun GSM inipun masih dipakai memutar nomor telepon analog ke central monitoring, namun setidaknya kelemahan kabel telepon ini sudah diatasi. 

Dengan meningkatnya pemakaian internet di tanah air, maka migrasi dari analog ke IP tampaknya harus segera dipertimbangkan, khususnya di sisi central monitoring-nya. Saat ini, memiliki perangkat IP receiver merupakan satu keharusan bagi central monitoring yang progresif. Apa sebab? Kebutuhan akan alarm monitoring masih cukup pesat, bahkan saat ini sudah mencapai taraf transmisi video. Jadi, selain ditelepon oleh operator CMS, customer pun bisa menerima snapshot dari peristiwa yang terjadi. Bahkan yang lebih dari itu ia bisa melihat langsung kondisi rumahnya via smartphone di mana saja ia berada, melalui IP camera tentunya.  Hal ini hanya dimungkinkan apabila central monitoring memiliki alarm receiver berupa server yang berbasis web (web server)Memang ini bukanlah sesuatu yang aneh, namun sudah siapkah central monitoring di tanah air menyambut trend ini?

09 July 2013

Sekilas Tentang Alarm Monitoring (4)

Saat terjadi peristiwa alarm di tempat pelanggan, panel control akan mengirimkan sinyal reporting ke pusat monitoring (CMS). Jika sinyal tersebut valid, maka seketika itu juga operator CMS akan disuguhi tampilan dari software monitoring, yaitu berupa data mengenai:

Time & Date: jam dan tanggal kejadian.
Account-ID: nomor pelanggan (dari mana alarm berasal).
Event code: kode kejadian (yang dikirimkan oleh panel alarm).
Zone: jika kejadiannya berupa pencurian (burglary).
Acknowledge: tindakan apa yang dilakukan oleh operator.
Remarks: catatan tambahan dari operator.

Data lengkap pelanggan disimpan di dalam satu database yang -tentu saja-  sudah diinput dulu oleh petugas monitoring saat kontrak. Oleh sebab itulah, pelanggan harus mengisi formulir sebagai tanda persetujuan kontrak.

Sebagai gambaran pembaca, kami perlihatkan screenshot salah satu software monitoring. Sekalipun software ini termasuk jadul -bahkan mungkin sudah punah- namun sekadar gambaran, bolehlah. Kliklah pada gambar untuk memperjelas.


Pada kolom atas terlihat data pelanggan saat operator menerima sinyal alarm dan melakukan klik. Sementara di sisi kanan terlihat data zone yang terpasang di lokasi kejadian. Tampilan paling bawah dinamakan traffic screen yang berisi semua reporting yang masuk. Adapun warna-warni yang terlihat, itu menunjukkan prioritas penanganan atau pengelompokkan kejadian, sehingga memudahkan operator dalam meng-handle kejadian yang masuk satu per satu.  Bisa kita bayangkan, betapa sibuknya petugas operator sepanjang hari dalam menangani masalah dari ratusan customer!


Langkah operator dalam menangani setiap event disebut dengan ACK (singkatan dari acknowledgement) dan nantinya disimpan di dalam history yang -jika perlu- bisa direview kembali. Di sana operator bisa menuliskan langkah apa yang sudah diambil, misalkan menghubungi ponsel contact person, menelepon ke rumah dan sebagainya. Pada software monitoring yang terbilang bagus, percakapan operator dengan lawan bicara akan terekam, sehingga momen demi momen bisa terlacak dengan akurat.


08 July 2013

Basic Troubleshooting CCTV yang Terlupakan

Dalam satu jurnal disebutkan, bahwa penelitian terhadap 10,000 komplain yang berkenaan dengan instalasi CCTV dari berbagai merk, disimpulkan sebanyak 65% gangguan CCTV disebabkan oleh masalah kabel, khususnya dari jenis coaxial. Termasuk hal ini adalah jeleknya kualitas kabel coaxial, kesalahan memilih kabel, jeleknya connector dan cara penyambungan. Selanjutnya, 27% lagi disebabkan oleh faktor power supply dan kondisi lingkungan, yaitu tegangan drop, buruknya sistem grounding atau panas yang berlebihan di sekitar peralatan. Sedangkan 7% diakibatkan oleh kesalahan dalam setting dan konfigurasi peralatan. Namun, yang mencengangkan adalah sisanya, yaitu hanya 1% saja gangguan yang diakibatkan oleh kesalahan unit. Angka ini tentu saja bisa menjadi kabar gembira bagi penjual, bukan? 

Terlepas dari valid tidaknya data di atas, namun ada satu benang merah yang bisa ditarik, yaitu saat troubleshootingfaktor bagusnya kabel memegang peranan penting. Kabel tersebut adalah coaxial cable yang sering digunakan pada instalasi CCTV, baik jenis RG-59, RG-6 atau RG-11. Pada posting kali ini, kami tidak akan membahas kabel merk apa yang bagus, sebab kualitas kabel akan sebanding dengan cost. Namun, bagaimanakah kita meyakini bahwa instalasi kabel tidak ada masalah?


Sedikit Penyegaran Seputar Kabel Coaxial  
Pengetahuan tentang kabel coaxial sudah sering disinggung, tetapi kita minim informasi. Kali ini kami hanya akan menyegarkannya kembali. Peralatan mahal dan canggih akan menjadi sia-sia, jika sinyal video tidak disalurkan melalui media yang tepat. 

Umumnnya kabel coaxial memakai code RG, misalnya RG-59/U. RG adalah singkatan dari radio guide atau radio grade, 59 menyatakan diameter kabel dan impedansi 75 ohm, sedangkan U menyatakan aplikasi universal (umum). Tapi, kebanyakan dari kita tidak ngeh soal komposisi material kabel, terutama pada bagian anyamannya (braid atau woven shield). Asal harganya murah, cukuplah spesifikasi sampai di sini. Padahal di satu sisi, faktor materialpun perlu diketahui. Perhatikanlah gambar di bawah ini.



Seperti terlihat pada gambar di atas, kabel coaxial terdiri atas inner conductor (A) dan shield berupa anyaman (wovenbraid) pada lapisan atasnya. Adapun komposisi material kabel yang dikenal hingga saat ini adalah:

1. SC ( solid copper ), yaitu bahan tembaga. 
2. AL ( aluminium ).
3. CCA ( copper covered aluminium ), yaitu aluminium yang dilapisi tembaga.
4. CCS ( copper covered steel ), yaitu besi yang dilapisi tembaga.

Kendati tembaga, aluminium dan besi sama-sama merupakan penghantar listrik yang baik, namun pada aplikasi CCTV, lebih ditekankan untuk menggunakan kabel berbahan tembaga, baik untuk center conductor maupun braid-nya. Apa sebab? Ini disebabkan karena output camera CCTV merupakan sinyal video komposit yang tergolong ke dalam frekuensi rendah dibanding sinyal televisi. Sinyal frekuensi rendah memerlukan kabel dengan resistansi DC yang kecil agar selamat dari redaman (losses). Pada gambar, resistansi ini disimbolkan oleh huruf r). Dibandingkan aluminium dan besi, kabel tembaga memiliki resistansi DC paling kecil. Oleh sebab itu, kabel coaxial dari jenis tembagalah yang idealnya dipilih untuk instalasi CCTV. Tidak mengherankan apabila coaxial jenis ini harganya lebih mahal.

Beralih ke sinyal televisi. Kendati sama-sama mengandung video komposit, namun sinyal televisi memiliki komponen frekuensi tinggi berupa gelombang radio (radio frequency, RF). Pada gelombang elektromagnetik, resistansi DC satu kabel tidak terlalu berpengaruh pada transmisi. Jadi, untuk sinyal televisi, penggunaan kabel berbahan dasar aluminium atau besi merupakan pilihan logis. Alasannya kembali pada persoalan cost yang lebih murah.  Kesimpulannya, kabel CCTV yang baik semuanya berbahan tembaga -baik bagian dalam maupun anyamannya-, sedangkan kabel televisi memakai bahan aluminium pada anyamannya.


                                                             (klik untuk memperjelas)

Dengan banyaknya pilihan merk dan harga, situasi di lapangan seringkali confuse. Kita tidak sempat lagi memeriksa kabel secara detail, yang penting coaxial, 75 ohm, harganya murah, titik! Kendati ini sah-sah saja, namun setidaknya sekarang kita mengetahui alasan mengapa merk A lebih mahal ketimbang merk B atau sebaliknya. 

Berita lainnya adalah masalah copper dan aluminium ini ternyata tidak semua pihak sepakat. Buktinya, perusahaan sekaliber Honeywell Cable, mengeluarkan hasil test yang seolah menyanggah isu ini. Mereka mengatakan, dari sisi elektrikal tidak ada masalah berarti antara kabel ber-braid tembaga (copper) dengan aluminium (copper covered aluminium), kecuali soal jarak. Hal ini diperkuat dengan bukti test di laboratorium yang kesimpulanya RG-59/U copper bisa mencapai 750feet (250m), sedangkan copper covered aluminium hanya sampai 600feet (200m).

Troubleshooting Dasar
Terlepas pro-kontra bahan kabel, bagaimanakah jika kabel sudah ditarik, tetapi masih menyisakan gangguan pada gambar? Berbekal konsep resistansi DC dan terminasi, kita bisa mulai troubleshooting dasar berikut ini:



1. Lepaslah connector BNC pada DVR.
2. Lepaslah connector BNC camera.
3. Hubungsingkatlah bagian tengah dan luar BNC camera.
4. Ukurlah resistansinya di sisi DVR dengan memakai digital multitester.
5. Jika diperoleh nilai antara 10 - 15 ohm, maka resistansi kabel bisa diterima. 
    Nilai di bawah 10 ohm lebih bagus, dan jika di atas 15 ohm bisa menjadi masalah.
6. Lepas jumper di sisi camera.
7. Masukkan BNC pada input DVR.
8. Ukurlah terminasi DVR di ujung kabel camera. Nilai 76 - 90 ohm berarti terminasi benar. Nilai 36 - 52 ohm berarti ada dua kali terminasi (periksa sambungan T, junction box dan peralatan lain). Jika resistansi tidak terbaca, DVR akan menampilkan no video.

Dengan menerapkan teknik ini, akhirnya bisa disimpulkan termasuk kategori manakah masalah CCTV yang kita hadapi, apakah soal panjang kabel, material kabel ataukah soal terminasi?

05 July 2013

Sekilas Tentang Alarm Monitoring (3)

                                                       

Receiver Phone Number
Receiver phone number adalah nomor telepon pusat monitoring. Jika pusat monitoring berada di luar kota atau panel alarm memakai gsm landline, maka perlu diawali dengan kode area, misalkan 021 untuk ibukota atau 022 untuk kota Bandung. Jika pusat monitoring tersebut memiliki IP receiver, maka yang "ditembak" adalah alamat IP dan port receiver yang bersangkutan, misalkan 202.67.88.30 di port 3061. Tentu saja alamat IP ini mesti permanen, bukan dynamic IP. 

Account ID
Account ID adalah identifikasi pelanggan atau nomor pelanggan. Pada format CID, nomor ini terdiri dari 4 digit. Untuk pusat monitoring besar, dengan lebih dari 9000 pelanggan, komposisi 4 digit ini mungkin dirasakan kurang. Namun, tidak setiap pelanggan tetap "setia" menggunakan layanan ini dengan berbagai faktor. Oleh sebab itu ada nomor-nomor yang tidak aktif lagi, sehingga bisa dipakai oleh pelanggan lainnya. Account ID ini diisikan oleh teknisi ke dalam panel alarm di masing-masing lokasi.


Format Komunikasi
Dalam alarm monitoring dikenal istilah format komunikasi (communication format). Istilah ini mengacu pada protokol yang dipakai panel alarm agar ia bisa berkomunikasi dengan receiver di pusat monitoring. Protokol yang populer digunakan saat ini adalah DTMF CID (dibaca: si-ay-di) yang merupakan singkatan dari Contact ID. Ada pula format SIA FSKScantronic dan lainnya. Pada umumnya alarm receiver masa kini bisa menampung semua format komunikasi standar yang ada, sehingga sering disebut multi format alarm receiver. Bukan pada tempatnya bagi kami untuk mengatakan mana yang bagus, sebab semua format tersebut sudah diakui sebagai standar industri alarm dan dipakai selama puluhan tahun tanpa masalah.

Reporting Codes
Reporting codes adalah kode standar untuk mendeskripsikan kejadian. Tergantung dari format komunikasi yang dipakai, maka deretan kode inilah yang nantinya dikirim ke pusat monitoring. Sebagai contoh, pada format CID, kode 130 menyatakan burglary (pencurian), 131 sebagai alarm di zone perimeter (instant), 134 adalah alarm di zone delay (entry/exit), 301 sebagai ac loss (listrik mati), 302 low battery (baterai panel alarm lemah) dan sebagainya. Kode-kode reporting ini di-generate secara otomatis oleh panel alarm, sehingga -jika tidak ada keperluan khusus- teknisi tidak perlu memrogramnya satu per satu ke dalam panel. Adalah tugas monitoring software untuk memecah kode ini ke dalam data yang informatif, sehingga dimengerti oleh operator.

Pada uraian mendatang insya Allah kami akan lanjutkan dengan ilustrasi, seperti apakah tampilan pada layar monitor operator CMS saat menerima sinyal alarm? Stay tune!

04 July 2013

Pertimbangan Saat Akan Membeli Alarm Rumah


Kali ini kami sajikan langkah demi langkah saat kita akan membeli alarm rumah. Berkonsultasilah dengan penjual seputar masalah ini, sehingga mereka bisa memberikan harga dan sistem yang terbaik bagi anda. Semoga bermanfaat.

Langkah 1: Mulailah dengan mengamati sekeliling rumah kita untuk menentukan ada berapa banyak jendela, pintu dan area luar yang perlu dilindungi. Tuliskanlah semuanya ke dalam satu catatan. 

Langkah 2: Tentukan lokasi yang pas untuk meletakkan panel control dan keypad. Tempat yang bisa dipakai untuk keypad umumnya adalah di ruang tidur, dekat pintu masuk, ruang kerja ataulokasi lain yang dianggap paling aman.

Langkah 3: Kira-kira seberapa jauhkahjendela dan pintu dari panel control. Ini akan memberikan gambaran berapa panjang kabel yang harus ditarik apabila sistem alarm memakai kabel. Jika memilih sistem wireless, maka hal ini menjadi gambaran apakah sensor bisa berkomunikasi dengan panel atau tidak. Perlu diingat: memasang sistem kabel di bangunan jadi adalah lebih sulit dan memerlukan skill tersendiri. Pelajarilah lebih lanjut mengenai perbedaan antara sistem kabel dengan wireless. 

Langkah 4: Tentukan apakah kita ingin memakai jasa alarm monitoring?  Jika ya, maka kita harus persiapkan biaya per bulanannya. Ada satu alternatif yang lebih murah, yaitu dengan memasang voice dialer  yang akan menghubungi  telepon pribadi atau nomor telepon lain jika terjadi alarm.

Langkah 5: Catatlah kebiasaan sehari-hari keluarga kita. Apakah ada yang sering bangun tengah malam untuk mencari cemilan atau pergi ke kamar mandi? Apakah ada hewan peliharaan yang dibiarkan berkeliaran dalam rumah? Apakah anda memiliki harta berharga yang membutuhkan peralatan keamanan lebih canggih, seperti camera CCTV?  Kondisi ini akan memengaruhi penempatan motion sensor -semisal PIR indoor-  dan sensor lain yang kita butuhkan, misalnya door contact di pintu-pintu penghubung antar ruangan.

Langkah 6: Tidak perduli kita memilih sistem kabel atau wireless, semua sistem  tersebut harus mampu memantau seluruh area di rumah. Setiap jendela, pintu dan perangkat lain yang berhubungan ke dalam sistem dianggap sebagai sebuah zone. Jumlah zone dalam satu sistem bervariasi antara satu merk dengan yang lain. Sebagai contoh, panel control wireless dengan kapasitas sampai dengan 28 zone, pada umumnya sudah lebih dari cukup untuk melindungi satu rumah tinggal. 

Langkah 7: Sadarilah bahwa jika kita memilih sistem kabel, maka teknisi (installer) harus menarik kabel dan mengebor beberapa lubang di dinding. Jika memilih sistem wireless, jangkauan transmisi harus cukup untuk menutupi seluruh tempat dan menjangkau sensor terjauh terjauh dari panel control. Ini adalah trade-off antara sistem kabel dengan wireless.

Langkah 8: Sangat penting pula untuk melengkapi sistem keamanan rumah dengan sensor tambahan, seperti detector CO (carbon monoxide) di sekitar area garasi, detector kebocoran gas elpiji di dapur, detector luapan air (flood detector) di area basah dan semisalnya. Pertimbangkan pula untuk memasang satu atau beberapa tombol panic, selain panic button yang ada pada remote control sistem wireless. 

Langkah 9: Sistem alarm rumah harus user-friendly. Salah satunya cirinya adalah saat penggantian atau pembuatan PIN dapat dilakukan dengan mudah dan prosedurnya sederhana. Singkatnya, semua anggota keluarga yang dewasa dapat belajar cara mengoperasikan sistem, tanpa ada kesan ribet.

Langkah 10: Pastikan kembali soal garansi, apakah meliputi instalasi kabel ataukah hanya produknya saja. Pastikan pula apakah barang yang rusak dalam masa garansi akan diganti baru atau diperbaiki. Masa garansi yang wajar -misalkan 2 tahun- lebih layak dipertimbangkan ketimbang yang lama, tetapi penjualnya sulit dihubungi, teknisinya tidak kunjung datang atau produknya sering rewel.